Selasa, 03 Desember 2013

Tafsir Kontemporer



TAFSIR KONTEMPORER
Makalah
Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Tafsir
Dosen Pembimbing : Muhajir, SHI MSI
Disusun Oleh :
Harmi Yunia
M. Afif Anwari

Program Studi Muamalah
JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NAWAWI
PURWOREJO
2013

TAFSIR KONTEMPORER
A.    Pendahuluan
               Sebagaimana kita ketahui bahwa al-Qur’an merupakan Landasan pokok yang utama umat Islam, namun al-Qur’an adalah kalam Allah Subhanahu wata’ala yang tidak bisa dipahami begitu saja, butuh ‘ilmu untuk sampai kepada pemahaman terhadap maknanya, semua ilmu yang dibutuhkan itu tercakup dalam satu istilah “Ulum at-Tafsir”, Ilmu tafsir. Penggunaan tafsir (penafsiran terhadap al-AQur’an) ini telah ada sejak masa Rasulullah, Sahabat, Tabi’in, Tabi’uttabi’in, hingga sekarang dan akan berlangsung sampai yaumul akhir. Seiring dengan adanya proses perkembangan zaman, yang mungkin bahkan pasti akan banyak perubahan situasi dan kondisi, kebudayaan manusia semakin maju, teknologi semakin canggih, begitupun transformasi informasi yang sangat cepat. Hal ini menjadi tantangan khususnya bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan dengan tetap memelihara nilai-nilai keislamannya. Maka, agar Al-Qur’an mampu menyesuaikan dengan zaman, atau zaman yang harus sesuai dengan Al-Qur’an, butuh pemahaman atau penafsiran yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi.[1]
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian dan sejarah Tafsir Kontemporer?
2.      Apa saja Ruang lingkup Tafsir Kontemporer?
C.     Pembahasan
1.      Pengertian Tafsir Kontemporer
         Ada dua kata yang terkandung dalam kalimat tersebut, yakni tafsir dan Kontemporer. Secara etimologi, Tafsir berasal dari bahasa Arabتفسير  atau berasal dari kata ا فس –فسر artinya memeriksa-memperlihatkan, atau bermakna kata الايضاح والشرح penjelasan atau komentar. Sedangkan secara terminology tafsir adalah penjelasan terhadap kalamullah atau menjelaskan lafazh-lafazh Al-Qur’an dan pemahamannya dan kata selanjutnya ialah Kontemporer, dalam kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna pada waktu yang sama, semasa, sewaktu, pada masa kini, dewasa ini. Maka dapat disimpulkan bahwa Tafsir Kontemporer ialah ‘Tafsir atau penjelasan ayat Al-Qur’an yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini’. Pengertian seperti ini sejalan dengan pengertian tajdid yakni ‘usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan mentakwilkan atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat.[2]
2.      Sejarah Tafsir Kontemporer
         Setelah berakhirnya periode pertama sekitar tahun 150 H, maka mulailah periode selanjutnya yang diawali dengan proses perkembangan hadits yang cepat, saat itu bermunculan hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad SAW, para sahabat, dan tabi'in. Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya.
         Abad ke- 19 atau abad ke-15 adalah abad dimana dunia Islam mengalami kemajuan di berbagai bidang. Termasuk diantaranya adalah bidang tafsir, banyak karya-karya tafsir yang terlahir dari ulama Islam di abad itu, Kemunculan metode tafsir kontemporer diantaranya dipicu oleh kekhawatiaran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran al qur`an dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi  dan latarbelakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting. Shah waliyullah (1701-1762) seorang  pembaharu islam dari Delhi, merupakan orang yang berjasa dalam memprakarsai penulisan tafsir “MODERN”, dua karyanya yang monumental yaitu, Hujjah al balighah dan Ta`wil al Hadits  fi rumuz Qishash al Anbiya, adalah karya yang memuat tentang pemikiran modern.[3]
3.      Karakteristik Tafsir Kontemporer
a.       Menjadikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk
   Dalam upaya mengembalikan al-Qur’an sebagai hudan lin nas, mufassir kontemporer tidak lagi memahami kitab suci sebagai wahyu yang “mati” seperti yang dipahami oleh ulama tradisional, melainkan sebagai sesuatu yang “hidup”. Al-Qur’an tidak diwahyukan dalam ruang dan waktu yang hamapa budaya, melainkan hadir pada ruang dan waktu yang syarat budaya.[4]
b.      Mungungkap “RUH” al-Qur’an
   Sebagai salah satu adigium yang menjadi jargon mufassir kontemporer bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang shalihun li kull zaman wa makani, meski adagium ini juga diakui oleh para mufassir klasik, namun pemahaman para mufassir kontemporer berbeda dengan para mufassir klasik. Jika para mufassir klasik memaknai adagium itu sebagai “Pemaksaan” makna literal kedalam berbagai konteks situasi kondisi manusia, para mufassir kontemporer justru melihat sesuatu yang berada “dibalik” teks ayat-ayat al-Qur’an. Jadi sesuatu yang ingin dicari oleh para mufassir kontemporer adalah Ruh al-Qur’an atau pesan-pesan moral al-Qur’an.
   Dalam perkembangan ilmu tafsir ada dua kelompok yang basis pijakan dan  kaidah penafsirannya saling berlawanan, kini mufassir kontemporer memunculkan kaidah baru yakni al-ibrah bi maqashid asy-syariah, sesuatu yang seharusnya menjadi pegangan adalah apa yang dikehendaki oleh syariah dan beberapa tafsir kontemporer menegaskan bahwa nilai universalitas dalam al-Qur’an adalah keadilan, kesetaraan dan hak asasi manusia.[5]
4.      Pola Pendekatan Penafsiran
         Kebanyakan mufassir tradisional klasik cenderung menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan metode tahlili (analitis), sedangkan mufassir kontemporer lebih banyak menggunakan metode ijmali (global), maudhu’i (tematis), atau penafsiran ayat-ayat tertentu tetapi dengan pendekatan modern seperti tematik, analisis jender, semiotok, dan hermeneutika.
         Metode tafsir maudhu’I ialah cara menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai maksud sama, dalam arti sama-sama membicarakan topik masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat itu, baru mufassir memberikan keteranagan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan.[6]
         Keberadaan tafsir maudhu’i sangat penting untuk mengkaji ayat-ayat al-Qur’an karena bisa dipahami secara tematik yang dapat membantah kaum atheis dan tokoh-tokoh skeptic terhadap kewahyuan al-Qur’an. Beberapa contoh kitab tafsir maudhu’i adalah al-fatuhat al rabbiniyah fi al tafsir al maudhu’i al ayat al-Qur’aniyah dan al-Bidayah fi al-tafsir al-maudhu’i.[7]
         Dalam kitab al-bidayah fi at-tafsir al mawdhu’i,  al farmawi mengemukakan beberapa langkah :
a.       Menetapkan masalah yang akan dibahas
b.      Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut
c.       Menyusun runtutan ayat sesuai dengan urutan pewahyuannya serta pemahaman tentang asbab an-nuzunnya
d.      Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing
e.       Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna
f.       Melengkapi dengan hadis-hadis yang relavan
g.      Mempelajari ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat[8]
         Pola penafsiran al-Qur’an dengan metode tematik ini sanagt menarik karena dua alasan :
a.       Metode maudhu’i berupaya memahami ayat-ayat al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh, dan tidak secara parsial ayat per ayat, sehingga memungkinkan seseorang memperoleh pemahaman yang utuh tentang konsep al-Qur’an.
b.      Metode maudhu’i bersifat praktis karena bias langsung bermanfaat langsung bagi masyarakat, dan kita bias memilih tema-tema tertentu untuk dikaji secara lebih mendalam.[9]
         Salah satu contoh dari penerapan metode maudhu’i dilihat pada bagaimana al-Qur’an memperhatikan pemeliharaan terhadap anak yatim. Pada periode Mekkah (ayat Makkiyah) yang terdapat pada ayat-ayat berikut : Al-Isra’:34, Al-Fajr:17, Al-Balad:14-15, Ad-Duha:6 dan 9 yang ditekankan kepada pemeliharaan dirinya serta tidak melakukan kejahatan terhadap harta mereka, baik secra terang-terangan maupun terselubung. Dan periode Madinah (ayat Madiniyah) yang terdapat pada yat-ayat berikut : Al-An’am:152, An-Nisa:2,6,10 dan 127, Al-Baqarah:83, Al-Ihsan:8 yang berisi tentang berbagai pemecahan dan jawaban terhadap pesolan anak yatim, cara memelihara diri dan hartanya.[10]
         Pola lain yang sedang berkembang dalam metode penafsiran kontemporer adalah tafsir feminis. Dalam memahami ayat-ayat yang berkaitan erat dengan relasi antara laki-laki dan perempuan, para penggiat feminis tidak menggunakan pola tahlili  atau maudhu’i, tetapi mengambil ayat-ayat yang akan ditafsirkan. Para mufassir feminis sepakat bahwa al-Qur’an diwahyukan sebagai sarana islam untuk menempatkan perempuan sebagai makhluk yang bermartabat.
5.      Metode Penafsiran Kontemporer
a.       Tafsir Kontekstual,
               Menurut Rahman ayat-ayat al-Qur’an tidak bias dipahami secara literal (harfiah) sebagaimana yang dipahami para mufassir klasik. Baginya memahami al-Qur’an dengan makna harfiah tidak saja akan menjauhkan seseorang dari petunjuk yang ingin diberikan al-Qur’an. Bagi Fazlur Rahman, pesan yang sesungguhnya ingin disampaikan al-Qur’an bukanlah makna yang ditunjukkan oleh ungkapan harfiah suatu ayat, melainkan nilai moral yang ada “dibalik” ungkapan literal itu. Dengan menggunakan pendekatan hermeneutika model emmilio betti untuk memperoleh makna objektif sebuah teks, Rahman mengajukan teori “Gerakan ganda” yang harus ditempuh untuk menafsirkan al-Qur’an, yakni “dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an ketika Ia diturunkan dan kembali ke masa kini.”[11]
Contoh Tafsir Kontekstual yakni :
  
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
               Yang diinginkan Al-Qur’an sesungguhnya bukan praktek beristri banyak. Praktek ini tidak sesuai dengan harkat yang telah diberikan Al-Qur’an kepada wanita. Maka pernyataan Al-Qur’an bahwa laki-laki boleh punya istri sampai empat orang hendaknya dipahami dalam nuansa etisnya secara komprehensif. Dan menurut Rahman, ada satu prinsip yang sering diabaikan oleh ulama dalam hal ini, yaitu : “ kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berlaku demikian  (QS. Al-Nisa’4:129). Dan terdapat juga pada potongan ayat 3 “jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja
               Dari ayat-ayat tersebut disiratkan suatu makna bahwa sikap adil itu mustahil dijalankan oleh seorang laki-laki (suami) terhadap masing-masing istrinya. Jadi, pesan terdalam Al-Qur’an tidak menganjurkan poligami.Ia justru memerintahkan sebaliknya, monogami (hidup yang umumnya disepakati oleh dua belah pihak, laki-laki dan perempuan). Itulah ideal moral yang hendak dituju Al-Qur’an.[12]
b.      Tafsir Realis,  
               Menurut Hassan Hanafi disebut “realis” karena yang titik pokok yang menjadi pertimbangan untuk menafsirkan al-Qur’an adalah kondisi realitas itu sendiri sehingga penafsiran yang dihasikannya pun lebih bersifat temporal yang belum tentu sesuai untuk diterapkan dalam realitas yang berlainan. Maka ini dimungkinkan karena tafsir harus “memiliki keberpihakan” yang sangat kuat untuk melakukan perubahan sosial atas lingkungan yang dihadapi oleh para mufassir. Bagi hanafi, penafsiran bukan sekedar upaya untuk membaca teks, melainkan harus menjadi upaya untuk memecahkan problematika sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.[13]
c.       Tafsir yang berorientasi pada pemaknaan aktual,
               Menurut arkoun untuk  memperoleh pemaknaan  dan pemahaman yang aktual atas al-Qur’an ini, arkoun menawarkan tiga pendekatan :
1)      Pendekatan Linguistik (semiotik) yang dengannya dapat dipahami secara komprehensif dan sistemik dari hubungan internal.
2)      Pendekatan Antropologis digunakan untuk mengetahui asal-usul dan fungsi bahasa keagamaan itu.
3)      Pendekatan analisis-mitis digunakan untuk melengkapi kedua analitis diatas[14]
d.      Tafsir yang berorientasi pada sastra,
               Menurut Nashar Hamid abu Zaid al-Qur’an dipahami sebagai “produk budaya” yang tidak bias dilepaskan dari keberadaannya sebagai teks linguistik, teks historis dan teks manusiawi. Dan Abu Zaid mengenalkan tiga tingkatan makna sebuah pesan yang inheren dalam ayat-ayat al-Qur’an. Pertama makna yang hanya menunjuk pada bukti atau fakta secara yang tidak bisa diinterprestasikan secara metaforis. Kedua makna yang menunjuk pada bukti dan fakta sejarah yang bisa diinterprestasikan secara metaforis. Ketiga makna yang bisa diperluas berdasarkan signifikasi yang diungkap dari kontens sosialkultural ketiaka teks itu muncul.
e.       Tafsir dengan pendekatan semantik,
               Menurut Muhammad Sahrur seorang mufassir kontemporer mengungkapkan bahwa dalm rangka memperoleh makna ayat yang mendekati kebenaran lebih memilih pendekatan semantik denagn analisi paradigmatik sintagmatis setelah melakukan teknik atau tartil intertekstualitas. Analisis paradigmatis yang dimaksud merupakan analisi pencarian dan pemahaman terhadap sebuah konsep atau makna symbol tertentu dengan cara menggantikannya pada konsep-konsep dari simbol-simbol lain yang berdekatan dasn berlawanan.
f.       Tafsir dengan teori evolusi syari’ah,
               Menurut Muhammad Thaha mengajukan sebuah teori yang disebut teori evolusi syari’ah, ini membagi ayat-ayat al-Qur’an menjadi dua kategori, yakni Makiyyah dan Madaniyah. Menurut thaha ayat-ayat makiyah memiliki pesan-pesan universal yang menjadi tujuan pewahyuan al-Qur’an, sedangkan ayat-ayat madaniyah merupakan ayat-ayat yang bersifat kasuistik yang “hanya” diwahyukan karena umat islam “dianggap” oleh Allah belum mampu melaksanakan pesan-pesan ayat-ayat makiyah yang universal tersebut.
D.    Kesimpulan
               Tafsir Kontemporer adalah tafsir atau penjelasan ayat Al-Qur’an yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini. Tafsir kontemporer umumnya menggunaka pendekatan Maudhu’i yang menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai maksud sama, dalam arti sama-sama membicarakan topik masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat itu, baru mufassir memberikan keteranagan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan. Dan metode tafsir kontemporer yakni Tafsir

DAFTAR PUSTAKA
Izzan,Ahmad.2009.Metodologi Ilmu Tafsir.Bandung: Tafakkur
Rohimin.2007.Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran.Yogyakarta: Pustaka       Pelajar
Shihab,M. Quraisy.1998.Membumikan Al-Qur’an.Bandung: Mizan


[2] M. Quraisy Shihab.Membumikan Al-Qur’an.(Bandung: Mizan,1998)hal93
[4] Ahmad Izzan.Metodologi Ilmu Tafsir.(Bandung: Tafakkur,2009)hal210
[5] Ibidhal212
[6] Rohimin.Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007)hal75
[7] Ibidhal77-78
[8] Ahmad Izzan.Metodologi Ilmu Tafsir.(Bandung: Tafakkur,2009)hal213
[9]Ibidhal213-214
[10]Rohimin.Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007)hal78-79
[11] Ahmad Izzan.Metodologi Ilmu Tafsir.(Bandung: Tafakkur,2009)hal216
                [12]  http://sanadthkhusus.blogspot.com/2011/07/metodologi-tafsir-kontektual.html (17/11/13)
                [13] Ahmad Izzan.Metodologi Ilmu Tafsir.(Bandung: Tafakkur,2009)hal217
                [14] Ibid hal219

Tidak ada komentar:

Posting Komentar