TAFSIR KONTEMPORER
Makalah
Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Tafsir
Dosen Pembimbing : Muhajir, SHI MSI
Disusun
Oleh :
Harmi Yunia
M. Afif Anwari
Program Studi Muamalah
JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NAWAWI
PURWOREJO
2013
TAFSIR KONTEMPORER
A.
Pendahuluan
Sebagaimana kita ketahui bahwa al-Qur’an merupakan Landasan pokok yang
utama umat Islam, namun al-Qur’an adalah kalam Allah Subhanahu wata’ala yang
tidak bisa dipahami begitu saja, butuh ‘ilmu untuk sampai kepada pemahaman
terhadap maknanya, semua ilmu yang dibutuhkan itu tercakup dalam satu istilah “Ulum
at-Tafsir”, Ilmu tafsir. Penggunaan tafsir (penafsiran terhadap al-AQur’an)
ini telah ada sejak masa Rasulullah, Sahabat, Tabi’in, Tabi’uttabi’in, hingga
sekarang dan akan berlangsung sampai yaumul akhir. Seiring dengan
adanya proses perkembangan zaman, yang mungkin bahkan pasti akan banyak
perubahan situasi dan kondisi, kebudayaan manusia semakin maju, teknologi
semakin canggih, begitupun transformasi informasi yang sangat cepat. Hal ini
menjadi tantangan khususnya bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan dengan
tetap memelihara nilai-nilai keislamannya. Maka, agar Al-Qur’an mampu
menyesuaikan dengan zaman, atau zaman yang harus sesuai dengan Al-Qur’an, butuh
pemahaman atau penafsiran yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pengertian dan sejarah Tafsir Kontemporer?
2.
Apa
saja Ruang lingkup Tafsir Kontemporer?
C.
Pembahasan
1.
Pengertian
Tafsir Kontemporer
Ada dua kata
yang terkandung dalam kalimat tersebut, yakni tafsir dan Kontemporer.
Secara etimologi, Tafsir berasal dari bahasa Arabتفسير atau berasal dari kata ا فس –فسر artinya memeriksa-memperlihatkan, atau bermakna
kata الايضاح والشرح penjelasan atau komentar. Sedangkan secara
terminology tafsir adalah penjelasan terhadap kalamullah atau menjelaskan
lafazh-lafazh Al-Qur’an dan pemahamannya dan kata selanjutnya ialah Kontemporer,
dalam kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna pada waktu yang sama,
semasa, sewaktu, pada masa kini, dewasa ini. Maka dapat disimpulkan bahwa
Tafsir Kontemporer ialah ‘Tafsir atau penjelasan ayat Al-Qur’an yang
disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini’. Pengertian seperti ini
sejalan dengan pengertian tajdid yakni ‘usaha untuk menyesuaikan ajaran
agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan mentakwilkan atau menafsirkan
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat.[2]
2.
Sejarah
Tafsir Kontemporer
Setelah
berakhirnya periode pertama sekitar tahun 150 H, maka mulailah periode
selanjutnya yang diawali dengan proses perkembangan hadits yang cepat, saat itu
bermunculan hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara
itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang
belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad SAW, para
sahabat, dan tabi'in. Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran
berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah
bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan
lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi
peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran, sehingga bermunculanlah
berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya.
Abad
ke- 19 atau abad ke-15 adalah abad dimana dunia Islam mengalami kemajuan di
berbagai bidang. Termasuk diantaranya adalah bidang tafsir, banyak karya-karya
tafsir yang terlahir dari ulama Islam di abad itu, Kemunculan metode
tafsir kontemporer diantaranya dipicu oleh kekhawatiaran yang akan ditimbulkan
ketika penafsiran al qur`an dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan
situasi dan latarbelakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah
yang penting. Shah waliyullah (1701-1762) seorang pembaharu islam
dari Delhi, merupakan orang yang berjasa dalam memprakarsai penulisan
tafsir “MODERN”, dua karyanya yang monumental yaitu, Hujjah al balighah dan
Ta`wil al Hadits fi rumuz Qishash al Anbiya, adalah karya yang
memuat tentang pemikiran modern.[3]
3.
Karakteristik
Tafsir Kontemporer
a.
Menjadikan
al-Qur’an sebagai kitab petunjuk
Dalam
upaya mengembalikan al-Qur’an sebagai hudan lin nas, mufassir
kontemporer tidak lagi memahami kitab suci sebagai wahyu yang “mati” seperti
yang dipahami oleh ulama tradisional, melainkan sebagai sesuatu yang “hidup”. Al-Qur’an tidak diwahyukan dalam ruang dan waktu yang hamapa
budaya, melainkan hadir pada ruang dan waktu yang syarat budaya.[4]
b.
Mungungkap
“RUH” al-Qur’an
Sebagai
salah satu adigium yang menjadi jargon mufassir kontemporer bahwa al-Qur’an
adalah kitab suci yang shalihun li kull zaman wa makani, meski adagium
ini juga diakui oleh para mufassir klasik, namun pemahaman para mufassir
kontemporer berbeda dengan para mufassir klasik. Jika para mufassir klasik
memaknai adagium itu sebagai “Pemaksaan” makna literal kedalam berbagai konteks
situasi kondisi manusia, para mufassir kontemporer justru melihat sesuatu yang
berada “dibalik” teks ayat-ayat al-Qur’an. Jadi
sesuatu yang ingin dicari oleh para mufassir kontemporer adalah Ruh al-Qur’an
atau pesan-pesan moral al-Qur’an.
Dalam
perkembangan ilmu tafsir ada dua kelompok yang basis pijakan dan kaidah penafsirannya saling berlawanan, kini
mufassir kontemporer memunculkan kaidah baru yakni al-ibrah bi maqashid
asy-syariah, sesuatu yang seharusnya menjadi pegangan adalah apa yang
dikehendaki oleh syariah dan beberapa tafsir kontemporer menegaskan bahwa nilai
universalitas dalam al-Qur’an adalah keadilan, kesetaraan dan hak asasi
manusia.[5]
4.
Pola
Pendekatan Penafsiran
Kebanyakan mufassir tradisional klasik cenderung menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan metode tahlili (analitis), sedangkan mufassir
kontemporer lebih banyak menggunakan metode ijmali (global), maudhu’i
(tematis), atau penafsiran ayat-ayat tertentu tetapi dengan pendekatan
modern seperti tematik, analisis jender, semiotok, dan hermeneutika.
Metode
tafsir maudhu’I ialah cara menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai maksud
sama, dalam arti sama-sama membicarakan topik masalah dan menyusunnya
berdasarkan kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat itu, baru mufassir
memberikan keteranagan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan.[6]
Keberadaan
tafsir maudhu’i sangat penting untuk mengkaji ayat-ayat al-Qur’an karena bisa
dipahami secara tematik yang dapat membantah kaum atheis dan tokoh-tokoh skeptic
terhadap kewahyuan al-Qur’an. Beberapa contoh kitab tafsir maudhu’i adalah al-fatuhat
al rabbiniyah fi al tafsir al maudhu’i al ayat al-Qur’aniyah dan al-Bidayah
fi al-tafsir al-maudhu’i.[7]
Dalam kitab al-bidayah fi at-tafsir al mawdhu’i, al farmawi mengemukakan beberapa langkah :
a.
Menetapkan
masalah yang akan dibahas
b.
Menghimpun
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut
c.
Menyusun
runtutan ayat sesuai dengan urutan pewahyuannya serta pemahaman tentang asbab
an-nuzunnya
d.
Memahami
korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing
e.
Menyusun
pembahasan dalam kerangka yang sempurna
f.
Melengkapi
dengan hadis-hadis yang relavan
g.
Mempelajari
ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat[8]
Pola penafsiran al-Qur’an dengan metode tematik ini sanagt menarik
karena dua alasan :
a.
Metode
maudhu’i berupaya memahami ayat-ayat al-Qur’an sebagai satu kesatuan
yang utuh, dan tidak secara parsial ayat per ayat, sehingga memungkinkan
seseorang memperoleh pemahaman yang utuh tentang konsep al-Qur’an.
b.
Metode
maudhu’i bersifat praktis karena bias langsung bermanfaat langsung bagi
masyarakat, dan kita bias memilih tema-tema tertentu untuk dikaji secara lebih
mendalam.[9]
Salah satu contoh dari penerapan metode maudhu’i dilihat pada
bagaimana al-Qur’an memperhatikan pemeliharaan terhadap anak yatim. Pada
periode Mekkah (ayat Makkiyah) yang terdapat pada ayat-ayat berikut :
Al-Isra’:34, Al-Fajr:17, Al-Balad:14-15, Ad-Duha:6 dan 9 yang ditekankan kepada
pemeliharaan dirinya serta tidak melakukan kejahatan terhadap harta mereka,
baik secra terang-terangan maupun terselubung. Dan periode Madinah (ayat
Madiniyah) yang terdapat pada yat-ayat berikut : Al-An’am:152, An-Nisa:2,6,10
dan 127, Al-Baqarah:83, Al-Ihsan:8 yang berisi tentang berbagai pemecahan dan
jawaban terhadap pesolan anak yatim, cara memelihara diri dan hartanya.[10]
Pola lain yang sedang berkembang dalam metode penafsiran
kontemporer adalah tafsir feminis. Dalam memahami ayat-ayat yang berkaitan erat
dengan relasi antara laki-laki dan perempuan, para penggiat feminis tidak
menggunakan pola tahlili atau maudhu’i,
tetapi mengambil ayat-ayat yang akan ditafsirkan. Para mufassir feminis
sepakat bahwa al-Qur’an diwahyukan sebagai sarana islam untuk menempatkan
perempuan sebagai makhluk yang bermartabat.
5.
Metode
Penafsiran Kontemporer
a.
Tafsir
Kontekstual,
Menurut Rahman ayat-ayat al-Qur’an tidak bias dipahami secara
literal (harfiah) sebagaimana yang dipahami para mufassir klasik. Baginya
memahami al-Qur’an dengan makna harfiah tidak saja akan menjauhkan seseorang
dari petunjuk yang ingin diberikan al-Qur’an. Bagi Fazlur Rahman, pesan yang
sesungguhnya ingin disampaikan al-Qur’an bukanlah makna yang ditunjukkan oleh
ungkapan harfiah suatu ayat, melainkan nilai moral yang ada “dibalik” ungkapan
literal itu. Dengan menggunakan pendekatan hermeneutika model emmilio
betti untuk memperoleh makna objektif sebuah teks, Rahman mengajukan teori
“Gerakan ganda” yang harus ditempuh untuk menafsirkan al-Qur’an, yakni “dari
situasi sekarang ke masa al-Qur’an ketika Ia diturunkan dan kembali ke masa
kini.”[11]
Contoh Tafsir Kontekstual yakni :
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak
akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Yang
diinginkan Al-Qur’an sesungguhnya bukan praktek beristri banyak. Praktek ini tidak sesuai
dengan harkat yang telah diberikan Al-Qur’an kepada wanita. Maka pernyataan Al-Qur’an bahwa laki-laki boleh punya istri sampai empat
orang hendaknya dipahami dalam nuansa etisnya secara komprehensif. Dan menurut Rahman, ada satu prinsip yang sering
diabaikan oleh ulama dalam hal ini, yaitu : “ kamu sekali-kali tidak akan
dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin
berlaku demikian” (QS.
Al-Nisa’4:129). Dan terdapat juga pada potongan ayat 3 “jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”
Dari
ayat-ayat tersebut disiratkan suatu makna bahwa sikap adil itu mustahil
dijalankan oleh seorang laki-laki (suami) terhadap masing-masing istrinya.
Jadi, pesan terdalam Al-Qur’an tidak menganjurkan poligami.Ia justru
memerintahkan sebaliknya, monogami (hidup yang umumnya disepakati oleh dua
belah pihak, laki-laki dan perempuan). Itulah ideal moral yang hendak dituju
Al-Qur’an.[12]
b. Tafsir Realis,
Menurut
Hassan Hanafi disebut “realis” karena yang titik pokok yang menjadi
pertimbangan untuk menafsirkan al-Qur’an adalah kondisi realitas itu sendiri
sehingga penafsiran yang dihasikannya pun lebih bersifat temporal yang belum
tentu sesuai untuk diterapkan dalam realitas yang berlainan. Maka ini
dimungkinkan karena tafsir harus “memiliki keberpihakan” yang sangat kuat untuk
melakukan perubahan sosial atas lingkungan yang dihadapi oleh para mufassir.
Bagi hanafi, penafsiran bukan sekedar upaya untuk membaca teks, melainkan harus
menjadi upaya untuk memecahkan problematika sosial yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat.[13]
c. Tafsir yang berorientasi pada pemaknaan aktual,
Menurut arkoun untuk memperoleh pemaknaan dan pemahaman yang aktual atas al-Qur’an ini,
arkoun menawarkan tiga pendekatan :
1)
Pendekatan
Linguistik (semiotik) yang dengannya dapat dipahami secara komprehensif dan
sistemik dari hubungan internal.
2)
Pendekatan
Antropologis digunakan untuk mengetahui asal-usul dan fungsi bahasa keagamaan
itu.
3)
Pendekatan
analisis-mitis digunakan untuk melengkapi kedua analitis diatas[14]
d.
Tafsir
yang berorientasi pada sastra,
Menurut Nashar Hamid abu Zaid al-Qur’an dipahami sebagai “produk
budaya” yang tidak bias dilepaskan dari keberadaannya sebagai teks linguistik,
teks historis dan teks manusiawi. Dan Abu Zaid mengenalkan tiga tingkatan makna
sebuah pesan yang inheren dalam ayat-ayat al-Qur’an. Pertama makna yang
hanya menunjuk pada bukti atau fakta secara yang tidak bisa diinterprestasikan
secara metaforis. Kedua makna yang menunjuk pada bukti dan fakta sejarah
yang bisa diinterprestasikan secara metaforis. Ketiga makna yang bisa
diperluas berdasarkan signifikasi yang diungkap dari kontens sosialkultural
ketiaka teks itu muncul.
e.
Tafsir
dengan pendekatan semantik,
Menurut
Muhammad Sahrur seorang mufassir kontemporer mengungkapkan bahwa dalm rangka
memperoleh makna ayat yang mendekati kebenaran lebih memilih pendekatan
semantik denagn analisi paradigmatik sintagmatis setelah melakukan teknik atau
tartil intertekstualitas. Analisis paradigmatis yang dimaksud merupakan analisi
pencarian dan pemahaman terhadap sebuah konsep atau makna symbol tertentu
dengan cara menggantikannya pada konsep-konsep dari simbol-simbol lain yang
berdekatan dasn berlawanan.
f.
Tafsir
dengan teori evolusi syari’ah,
Menurut
Muhammad Thaha mengajukan sebuah teori yang disebut teori evolusi syari’ah, ini
membagi ayat-ayat al-Qur’an menjadi dua kategori, yakni Makiyyah dan Madaniyah.
Menurut thaha ayat-ayat makiyah memiliki pesan-pesan universal yang menjadi
tujuan pewahyuan al-Qur’an, sedangkan ayat-ayat madaniyah merupakan ayat-ayat
yang bersifat kasuistik yang “hanya” diwahyukan karena umat islam “dianggap”
oleh Allah belum mampu melaksanakan pesan-pesan ayat-ayat makiyah yang
universal tersebut.
D.
Kesimpulan
Tafsir Kontemporer adalah tafsir atau penjelasan ayat Al-Qur’an yang
disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini. Tafsir kontemporer umumnya
menggunaka pendekatan Maudhu’i yang menghimpun
ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai maksud sama, dalam arti sama-sama
membicarakan topik masalah dan menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab
turunnya ayat-ayat itu, baru mufassir memberikan keteranagan dan penjelasan
serta mengambil kesimpulan. Dan metode tafsir kontemporer yakni Tafsir
DAFTAR PUSTAKA
Izzan,Ahmad.2009.Metodologi Ilmu
Tafsir.Bandung: Tafakkur
Rohimin.2007.Ilmu Tafsir dan
Aplikasi Model Penafsiran.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Shihab,M. Quraisy.1998.Membumikan
Al-Qur’an.Bandung: Mizan
http://hariyantoblogs.blogspot.com/2012/11/normal-0-false-false-false-en-us-x- none.html (06/011/2013)
[2] M. Quraisy
Shihab.Membumikan Al-Qur’an.(Bandung: Mizan,1998)hal93
[4] Ahmad Izzan.Metodologi
Ilmu Tafsir.(Bandung: Tafakkur,2009)hal210
[5] Ibidhal212
[6] Rohimin.Ilmu
Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran.(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2007)hal75
[7] Ibidhal77-78
[8] Ahmad Izzan.Metodologi
Ilmu Tafsir.(Bandung: Tafakkur,2009)hal213
[10]Rohimin.Ilmu
Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran.(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2007)hal78-79
[11] Ahmad Izzan.Metodologi
Ilmu Tafsir.(Bandung: Tafakkur,2009)hal216
Tidak ada komentar:
Posting Komentar